Untuk waktu yang terlalu lama, kita mungkin sudah berusaha menjual imej pada diri sendiri, bahwa kita adalah dan memang dimaksudkan untuk menjadi orang dewasa yang introspektif dan aktif memproduksi filosofi pribadi. Tapi, jika bergabung dengan kejujuran, kita sadar bahwa kita baru memutuskan itu ketika kita beranjak dewasa. Sebagai mekanisme pertahanan saat tumbuh dengan sebuah kasus pengabaian emosional.
Akhirnya sebuah hal mengesankan terjadi. Kita memutuskan untuk mengakui bahwa kita sebenarnya bukan, secara istimewa, orang yang introspektif ataupun filosofis. Dan kita berharap kita tidak pernah mulai menyiksa diri sendiri dengan mengasuh imej palsu akibat desakan memiliki identitas ketika tumbuh dewasa. Hari ini kita tidak ingin berubah jadi sesuatu yang berbeda lagi. Melainkan, dengan mengampuni diri, kita sadar bahwa penyiksaan intelektual semacam itu mengecilkan kesempatan kita untuk tindakan yang lebih penting: memaafkan kebenaran diri yang lebih bernoda dan kepribadian yang tempramental. Dengan kata lain, kemanusiawian kita, yang sangat butuh pengampunan yang mengasihi saat ini.
Dalam proses hidup yang semakin jarang melibatkan orang lain, kita pun berhenti sibuk mencari teman baru di usia dewasa. Pertemanan jadi terasa sangat mahal. Dilumpuhkan oleh jarak kita terhadap emosi-emosi kita sendiri, syarat-syarat konvensional untuk menyenangkan seorang teman terasa tak sepadan dengan penderitaan harian kita. Kita sempat begitu rajin berharap orang akan tahu bahwa pertemanan hanya akan menghadiahkan kehidupan yang biasa-biasa saja tanpa motivasi untuk memperbaiki kualitas pribadi.
Tapi kemudian teman-teman kita benar-benar menjalani kehidupan yang kita bayangkan; memiliki penghasilan tetap dari pekerjaan korporasi, berkeluarga, menjalani kehidupan yang, meski bukan jenis baru, berkembang terkendali oleh kemampuan mereka merasa puas pada pencapaian dan diri mereka sendiri.
Kita kemudian sadar bahwa, selama kita belum mampu mengasihi diri sendiri, semua usaha intelektual kita hanya akan berarah pada menyakiti diri sendiri. Penderitaan kita bukan lagi berasal dari sumber luar, melainkan sebagian besarnya kita rawat dan kekalkan sendiri.
Tapi hari ini kita sadar, akhirnya, bahwa satu-satunya alasan positif untuk mengalami rangkaian penderitaan adalah karena kita terus tumbuh. Bukan untuk menimbunnya sendirian di ruang terbatas hati kita, memimpikan sebuah imbalan yang istimewa suatu hari.
Setelah membebas-tugaskan imej intelektual kita yang, sebagaimana dapat kita maklumi, terus mencoba menjual pada kita sejenis ‘rasa kenyang tanpa makanan’; saat mendiamkan semua alasan bahwa kita bisa selamanya melakukan ini sendirian… Kita sadar bahwa sejatinya, kita masih selalu mendambakan kehidupan yang padat oleh pertemanan yang sederhana.
Gambar fitur: pixabay.com/jacejojo