Pengabaian Emosional: Pasar Topeng Sosial

Di dunia saat ini, semua orang pada akhirnya harus menjual sesuatu. Apapun bentuk dedikasi yang dibayarkan, banyak orang berencana menghasilkan uang, cukup untuk mampu membayar listrik, air dan makanannya sendiri. Tanpa keterampilan mencintai dunia, yang memang berhak dikasihi ini, kita mungkin akan melihat betapa kurang terhormatnya model kehidupan kita.

Karena itu kita dibesarkan untuk mengusung cara hidup yang tak jauh berbeda dari orangtua kita. Supaya pada akhirnya, kita juga memiliki sesuatu untuk dijual, yang mengalirkan kita pada membangun dan menjalani model kehidupan yang dijamin oleh masyarakat.

Hadiah kesetaraan dan rasa penerimaan itu pun sudah ditawarkan sejak kita lahir. Dan kita diasuh untuk memprakaryakan komoditi pertama kita sendiri, yang kemudian akan dibeli oleh lingkungan. Yaitu persona sosial. Sehingga ini menjadikan orangtua, keluarga, lingkungan hidup dan akhirnya masyarakat luas, adalah pasar untuk menjual persona sosial kita.

Bayangkan tumbuh dewasa memaksa diri untuk, di atas luka-luka kering pengabaian emosional, membanggakan bahwa kita bebas dari kewajiban untuk memiliki topeng sosial yang sama seperti semua orang dan orangtua kita.

Hanya untuk pada akhirnya, menjadi seorang berusia 30 tahunan yang sadar bahwa, tanpa bisa dipungkiri oleh otot-otot filosofi dan kecerdasan, kita butuh topeng sosial untuk merasa bahagia.

Saat ini, pikiran kaku kita mungkin cemas bahwa kita harus memperoleh SEMUA jaminan adat dan masyarakat demi sah dianggap sebagai ‘orang normal’. Tapi yang kita butuhkan jauh lebih murah dari yang kita takutkan. Meski tetap tidak akan mudah berusaha memperolehnya sekarang.

Kita cuma butuh ‘semacam’ jaminan, bukan bahwa kita sudah melakukan hal yang benar (sendirian), melainkan bahwa ada sosok yang sukarela menanggung jubah moral yang lebih besar, yang mengawasi tindakan kita. Sebuah ‘cermin pertimbangan perilaku’ yang tidak kita dapatkan saat kecil.

Inilah cara kita memperoleh persona sosial yang kita butuhkan. Untuk menjernihkan fokus terhadap apa yang benar-benar kita butuhkan, pedulikan, menyadari panggilan hidup, hingga menemukan bentuk karya yang mampu kita ciptakan.

Gambar fitur: pixabay.com/ANKLESPRAINDOC

Tinggalkan komentar