Berusaha menjalankan sebuah agenda ataupun rencana kreatif sering terasa sulit bagi semua orang. Entah itu orang-orang yang memiliki dukungan emosional yang minim ataupun tidak, pada suatu waktu kita harus beradaptasi pada cetak-biru gagasan baru dan cita-cita kita sendiri. Bukan soal apakah kita sudah pasti bisa, atau tidak bisa melakukannya.
Memutuskan besar tenaga dan kecepatan laju di awal sebuah usaha memang sulit, apalagi saat kita tidak tahu batasan mana saja yang harus dihindari, dan mana belokan atau pilihan tindakan yang akan menghadiahi kita tak hanya jaminan kesuksesan, tapi juga keberlangsungan rasa didukung dan dipedulikan.
Sebagai penderita gangguan pengabaian emosional, sedikit lebih sulit bagi kita untuk memulai sebuah rencana hidup, dengan mengabaikan kekosongan fondasi mental kita. Di pagi hari setelah beristirahat, rencana-rencana dan target dari malam sebelumnya berubah terasa konyol. Dalam keadaan rileks pasca istirahat, sebuah suara di kepala kita menyembur dan mencemooh kepura-puraan kita.
Di awal, imajinasi kita mungkin mengesankan bahwa kita bisa mengerjakan target itu sekadar selesai saja, tanpa ikatan emosi. Berharap bahwa, kali ini, kita akan benar-benar sukses melakukan satu hal penting, tanpa dicampuri oleh keraguan dan rasa rendah diri yang melumpuhkan yang sudah jadi langganan menghantui mental kita.
Tapi akhirnya kita sadar, sebuah pekerjaan itu tidak optimal jika dikerjakan tanpa sedikit ego dan pikiran ‘munafik yang termotivasi’, seperti pikiran-pikiran yang mengasuh kita saat kecil. Pikiran-pikiran yang berharap mendapatkan pujian atas kapasifan dan kepatuhan kita, pikiran ingin tahu yang mempertanyakan kehebatan seseorang di balik topeng sosialnya, pikiran yang diam-diam meragukan kompetensi dan kualitas watak orang-orang dewasa di sekitar kita. Sementara, di saat bersamaan, kita juga berharap memiliki kepercayaan diri untuk terampil ‘menjilat’ orang-orang ini demi jenis perhatian emosional yang unik atau sebentuk hadiah materiil.
Di saat dewasa, tidak heran jika kita kesulitan saat mencoba melakukan pekerjaan yang memiliki imbalan, tetapi kita mulai dengan pikiran yang terlalu polos. Kita butuh memandang sebuah target atau rencana sebagai ‘sosok berwenang’ yang membawa tanggungjawab moral yang lebih besar dari kita, sosok yang mampu memergoki kesalahan dan menghukum kita. Supaya kita, seperti anak-anak yang tumbuh dengan batasan-batasan aturan orangtuanya, dapat melatih penalaran dan menumbuhkan semangat hidup melalui belajar menghindari pengekangan dan hukuman.
Pikiran-pikiran yang munafik (bukan perbuatan munafik untuk menyakiti orang lain) yang dimotivasi oleh imbalan yang bermakna bagi kita secara pribadi, dapat memudahkan jalan bagi terlaksananya pekerjaan-pekerjaan positif yang penting untuk kita jalani. Sebab pekerjaan-pekerjaan yang berhasil menggoda ego kita ini akan menjadi sebuah ‘kemerdekaan bersyarat’ yang memberi kita kesempatan untuk membayar bobot di sisi lain timbangan. Supaya, sebagaimana yang diam-diam kita doakan, dunia akan membayar balik dengan sebentuk pertemanan yang tangguh memaklumi ketidak-hebatan dan kenakalan kita.
Akhirnya, untuk mendekatkan diri dengan emosi-emosi kita sendiri, kita butuh bergabung kembali bersama bisikan-bisikan ego dan pikiran ‘munafik termotivasi’ dari masa kecil. Demi memperoleh cinta yang tak sempurna itu dari orang lain. Sebab tampaknya, demi mengembalikan kewarasan dan mengemban panggilan hidup melalui pekerjaan-pekerjaan yang positif, inilah satu-satunya jenis cinta yang kita butuhkan.
Gambar fitur: pixabay.com/Angyalimosoly