Sebagai penderita pengabaian emosional masa kecil, merupakan alur klasik jika pada satu poin kita membangun identitas palsu. Dengan tujuan untuk mengaburkan perasaan menjadi korban dan membangun citra yang lebih memegang kendali. Tapi konsekuensinya, hal ini juga mengaburkan penerimaan kita terhadap panggilan kita yang sebenarnya, menikmati hiidup, dan yang mungkin lebih berat: mengakui kebutuhan emosional yang tak terpenuhi dulu.
Diamkan semua pengetahuan kita saat ini, sejenak berhenti menyangga mental dengan argumen dan filosofi yang membuat kita merasa kuat di lapisan luar. Sekarang turunlah kembali ke sudut pandang lama kita saat berusia enam tahun. Sebuah tempat yang entah sudah berapa lama kita tinggalkan. Di sana kita akan mendengarkan pikiran-pikiran masa kecil. Pusaka bernilai yang selama ini kita cari untuk melegakan derita intelektualisasi yang tak henti, yaitu pikiran-pikiran abstrak yang belum terstruktur oleh kata-kata.
Dari titik yang penuh penerimaan ini, kita bisa membahas lagi kekurangan-kekurangan di masa itu, untuk menyadari apa yang benar-benar kita butuhkan. Sejak awal, dunia sudah ditawarkan sebagai tempat yang begitu asing bagi kita. Dipenuhi karakter yang kompetensinya tampak di luar jangakaun kita. Namun sebagai seorang anak kecil dalam model kehidupan yang populer, kita membutuhkan sesuatu untuk tumbuh dengan keseimbangan mental. Yaitu sarana untuk menguji kepantasan kita dalam bersosial.
Cermin yang mendesak kita untuk mempertimbangkan, berkompromi dan ‘mendiskon’ perilaku yang (dianggap) menyinggung etika. Sebuah lembaga penilaian lokal yang mengajari kita mengenali godaan impulsif untuk mencobai tindakan yang terlalu bebas, mecegah kita mengucapkan hal bodoh yang berpotensi kita sesali, dan meninjau selagi masih di dalam benak agresi ‘tak-diundang’ yang, tanpa motivasi intelektual yang diminati siapapun, akan menyakiti perasaan orang lain.
Bagi sebagian anak, mereka dianugerahi cermin perilaku ini melalui dibesarkan di bawah aturan dan respon tempramental orangtuanya. Sistem pengawasan orangtua atau orang dewasa memang bukanlah yang paling sempurna ataupun bijaksana. Sebagai individu, ayah dan ibu kita juga terinfeksi oleh keraguan dan kekurangan di masa kecil mereka. Tanpa dibekali pengetahuan formal tentang cara mengasuh ataupun psikologi manusia, mereka merespon perilaku kita saat kecil dengan letupan ekspresi semacam, “Bandel sekali sih kamu. Apa tadi Ibu bilang. Kamu sih nggak dengerin orangtua.”
Meski kedengarannya menggambarkan lingkungan pengasuhan yang receh, kita bisa mendapati watak orangtua seperti ini di manapun. Namun, menariknya, suara-suara inilah yang terbaik yang bisa kita dapat atau dambakan sebagai anak-anak. Demi memperoleh keterampilan alami untuk menyesuaikan diri saat kita dewasa.
Gambaran tentang ancaman diberi hukuman, atau campur tangan sosok otoritas yang mengekang, membantu kita membentuk pemahaman tentang norma di tempat kita hidup. Meski sistemnya bukan yang paling mengasihi, didekorasi sentimen yang tak rasional untuk membela pihak orangtua saja, didasari pengetahuan psikologis yang ketinggalan jaman, tidak pun adil terhadap kerumitan kondisi manusia, paling tidak seorang anak tak harus tumbuh memaksa dirinya berusaha memahami segalanya sendirian. Dari nol membangun sebuah identitas palsu yang sepanjang kehidupan dewasanya akan meracuni dirinya sendiri, memforsir kecerdasannya dalam cara yang tak sehat untuk berusaha menalar batasan ucapan, tindakan dan tempramennya, hanya untuk menghindari insiden memalukan selanjutnya.

Apapun latar belakang kita, menderita pengabaian emosional ataupun bukan, menjadi seorang anak kecil yang menerima sedikit arus-balik terhadap perilakunya, lalu dipojokkan oleh letupan emosi orang dewasa setelah melakukan pelanggaran norma dan etika di hadapan umum, adalah jenis rasa kesendirian yang menghancurkan yang tidak kita harapkan selagi hidup di dunia.
Ketika dinasehati untuk menjadi ‘anak yang baik’, anak-anak lain otomatis menerjemahkannya sebagai ‘menuruti aturan orangtua’. Mereka tidak menghabiskan hidupnya menganalisa makna nasehat itu secara intelektual. Mereka hidup memiliki ekspektasi yang lebih realistis atas dirinya sendiri.
Sementara anak-anak yang dibuat trauma oleh kesalahan-kesalahan fatal yang dia perbuat di masa kecil, dan lanjut menghadapi trauma itu sendirian, akan terjebak di satu titik sebelum terpaksa memutuskan menjalani kehidupannya dengan sebuah program pikiran.
Antara mengimani bahwa dia memanglah orang yang rusak dan buruk, atau pahit menerima sudut pandang yang sinis bahwa ‘tumbuh dewasa’ berarti mahir menutupi kompetensi yang sebenarnya tidak mengesankan dengan tipuan, yang bahkan tidak canggih atau imajinatif.
Gambar fitur: pixabay.com/Devanath