Cara Berteman Dengan Masa Lalu

Sebagai penyintas masalah kejiwaan, tak jarang kita dihantui oleh insiden-insiden ledakan emosi dan pertunjukan agresi yang kita lakukan di masa lalu. Kenangan-kenangan ini menjadi bahan bakar bagi intelektualitas kita, tapi, sayangnya bukan dengan tujuan untuk mendapatkan pengampunan yang mengasihi. Melainkan untuk melanjutkan rutinitas kita menyiksa diri, mengawetkan imej yang keliru bahwa kita adalah mesin non-manusia yang harus memiliki kemampuan super untuk membayar sendiri dosa-dosa kita.

Banyak orang lain menghukum dirinya sendiri, untuk memastikan mereka selalu bisa kembali diterima di pelukan adat dan sumber dukungan emosional. Sementara penderita depresi, pengabaian emosional maupun ansietas, seringkali, setelah dengan kecerdasan yang begitu tajam membuktikan bahwa dirinya adalah semacam monster berdarah dingin, mereka tetap harus kembali lagi pada kesendirian tanpa dukungan emosional. Pikiran mereka adalah satu-satu sistem adat mereka sendiri.

Sebagaimana kita tak bisa menghentikan pertumbuhan, begitu juga kita tak bisa membatalkan peristiwa masa lalu. Namun yang kekuatannya lebih masuk akal dan lebih berkuasa dari impian mustahil itu adalah, sikap yang lebih ramah terhadap kenangan-kenangan tersebut.

Ada banyak hal yang terasa seratus kali lebih menakutkan jika terjadi saat kita masih anak-anak. Jantung kita berdetak sama keras di tubuh kecil kita seperti ia berdetak di tubuh dewasa kita. Sementara, pada waktu itu, orang dewasa dan orangtua tidak selalu sadar bahwa mereka harusnya berempati, bukannya bersikap kasar dan rakus menikmati anggapan bahwa mereka berhak merasa tersinggung secara pribadi oleh kegagalan kita. Padahal mereka jarang mempelajari proses perjuangan seorang anak. Maka, ketika tidak ada yang memberi kita dukungan emosional dan empati yang kita butuhkan saat kenangan memilukan itu terjadi, hanya ada satu orang tersisa yang mampu melakukannya. Yaitu diri kita saat ini.

Kunjungi kembali ingatan-ingatan yang menyakitkan itu, dekati diri kanak-kanakmu beberapa saat setelah insiden itu selesai terjadi. Tunggu orang dewasa lain pergi. Tetaplah di sana saat diri kanak-kanakmu tinggal sendirian, berjuang membela dirinya secara mental, bernegosiasi dengan suara-suara yang mencoba mencemooh diri. Amati kerusakan yang sudah terjadi. Ingat dan rasakan bagaimana diri masa lalumu berjuang menyusun naratif di pikirannya untuk menerjemahkan kekacauan emosinya. Jangan berusaha menghibur dia. Duduklah di salah satu kursi atau tempat tidur. Tunggu sampai dia sendiri memilih tindakan dan sikap yang lebih tenang.

Duduklah dalam sikap tegak, dekati diri masa lalumu, tanpa persiapan intelektual untuk bicara. Amati dia dengan sikap sesalmu sendiri, kekecewaan yang perih dan jujur atas keseluruhan situasinya. Biarkan dia berproses menenangkan diri, ditemani olehmu, hingga dia mendongak dan mulai mempertimbangkan nilai sosokmu di ruangan itu. Buka kedua lenganmu, beri dia semua waktu yang dia butuhkan hingga siap untuk diajak naik ke pangkuan atau pelukanmu.

Lalu, tanpa analisa yang berlebihan, jabarkan ulasan persis dari perbuatannya. Di bagian mana dia harusnya berhati-hati, perhitungannya yang mana yang keliru. ‘Omeli’ dia bahwa (semua) orang tidak boleh melakukan hal spesifik yang baru saja dia perbuat. Lalu minta dia mengingat ucapan itu. Biarkan dia mendengarkan dalam pelukanmu, hinggga dia merasa puas dengan terjemahan atau cara pemaknaan baru atas insiden itu. Sampai dia sendiri ingin turun dan melakukan hal yang lain atau beristirahat.

Lihat bagaimana kamu telah memutus rantai penderitaan intelektual anak itu. Dia tidak akan menghabiskan kehidupan dewasanya menganalisa semua tindakannya berdasarkan keparahan kesalahan yang pernah dia buat di masa kecil. Ketimbang itu, dia akan puas dengan pengawasan dan nasehat/omelan dalam tangguhnya kesabaran sosok yang menungguinya berproses. Sadar bahwa penebusan sebuah kesalahan tidak harus ditemukan harga persisnya, karena harga penebusan itu sangat relatif dan bukan untuk didiskusikan sendiri. Dan apapun yang mampu dia bayar, dia percaya itu sudah cukup untuk memuaskan semua pihak, cukup untuk semua orang kembali saling menikmati pertemanan.

Memarahi anak dan menyebutnya anak yang buruk sama tidak bermanfaatnya dengan memamerkan kekecewaan yang egosentris.

Cinta-tak-sempurna yang ideal adalah ketika kita tidak selalu tahu apa yang paling bermanfaat untuk dilakukan tepat setelah kekacauan terjadi, namun kiata tetap berada dekat si pelaku, siap bersedia menjadi saksi atas usahanya untuk mengekspresikan penyesalan atau menawarkan penebusan.

Karena lebih baik diperingatkan apa yang mungkin kita langgar dan siapa yang mungkin akan kita sakiti, sebagai konsekuensi mengemudi secara ceroboh, jika itu membuat kita percaya diri mengemudi di sepanjang sisa perjalanan, dengan kecepatan yang kita pilih di jalur-jalur yang kita perhitungkan aman.

Ketimbang sepanjang waktu berpikir bahwa kita bisa menciptakan reaksi beruntun kerusakan fatal yang akan menyakiti semua orang jika melakukan satu kesalahan lagi, sehingga membuat kita mengemudi lambat, kikuk dan justru mengganggu hingga mencelakakan orang lain yang ada di belakang, menciptakan kenangan menyakitkan lainnya.

Versi diri kita yang terakhir, secara bertahap harus dihentikan mengoperasikan hidup kita. Kita tak perlu kembali ke masa lalu dan meminta orangtua atau orang dewasa memberikan panduan ini bagi kita. Diri kamu yang saat ini mampu menghasilkan kesabaran berkualitas baik, dan tangguh tanpa keraguan diri. Dengan mendiamkan proses intelektual yang tidak diperlukan, kamu memiliki kesabaran yang baik dan jenis cinta yang ideal, untuk meringankan inflamasi dan sesak dari kenangan masa lalu.

Gambar fitur: pixabay.com/ambermb

Tinggalkan komentar