Kuasa Sosial vs. Kesehatan Mental

Ada satu hal yang nyaris tak bisa kita hindari, baik sebagai penyintas masalah kejiwaan, maupun dalam kehidupan sehari-hari. Yaitu kita tidak selalu kompatibel dengan semua orang.

Budaya Indonesia dibangun mengedepankan kepatuhan dan kemajemukan. Orang diasuh sejak kecil menggunakan ancaman risiko hukuman sosial, tanpa cara yang mudah untuk mempertanyakan kebijakan yang ditekankan pada kita. Kelayakan seorang manusia di Indonesia diukur dari seberapa mampu dia mengemban permintaan adat dan norma utama. Permintaan kebutuhan pribadi yang lebih kompleks kesehatan jiwa sering terasa seperti permintaan egois yang hanya bisa dipenuhi oleh lembaga yang lebih tinggi dari orangtua atau keluarga kita sendiri.

Namun cangkang kehidupan ini memiliki konsekuensi yang kadang justru berlawanan dengan tujuan sebuah masyarakat untuk maju dan berkembang. Optimisme dalam menjunjung sentimen sosial, nasionalisme buta, keberserahan pada lembaga sosial yang tidak selalu adil dan ‘bersih’, keberpihakan pada sosok-sosok otoritas yang kita merasa wajib untuk sukai… Merabunkan kita dari mengasah empati, mempelajari berbagai kondisi kompleks manusia, dan akhirnya, kemampuan berintrospeksi.

Hari ini kebanyakan orang hidup berusaha ‘menjaga perasaan’ adat, sambil mencoba menghindari campur tangan otoritas (menjumpai guru di luar lingkungan sekolah, orangtua, polisi lalu-lintas).

Atau menggelincir ke dalam kondisi yang lebih memberi rasa ‘hamba yang baik’ Stockholm Syndrome.

Fenomena psikologis ini erat kaitannya dengan kasus penculikan dan penyekapan, dimana, seiring waktu, seseorang menjalin ikatan emosional dan sikap dukungan pada orang yang justru selama ini melumpuhkan dan membatasi ruang geraknya.

Nalar untuk melindungi rasa aman dan menghindari hukuman ini cukup memadai untuk menyediakan motivasi hidup dalam batasan-batasan kolot di Indonesia, dan menjaga kewarasan dan kebahagiaan banyak orang. Di sisi lain, prinsip kecerdasan ini membuat kita cenderung cerdas meniru dan mengikuti instruksi, tapi segera dihantui ancaman penghakiman sosial jika kita tertarik untuk mengembangkan wawasan kita sendiri, atau memiliki identitas yang otentik.

Kita disemangati untuk merasa bangga menjadi sumber daya bagi sistem sosial. Sistem yang memiliki keterbatasan dalam memahami psikologi manusia, dan sejarah mengulangi perilaku koruptif. Mengharapkan sistem sosial yang lebih pengertian dan akurat memahami realita manusia entah mengapa segera membuat kita ingin menghukum diri sendiri. Mengekspresikan harapan bagi sebuah masyarakat yang mengijinkan individunya untuk beroperasi menggunakan faktor-faktor yang lebih manusiawi seolah menjadi tabu dan menyimpang.

Salah satu pilihan terbaik adalah bersikap masuk akal dengan menu yang ada. Meski ilusi kebebasan yang kita punya tidak akan pernah sama nilainya dengan kebebasan yang murni muncul dari dari pengetahuan tentang diri kita sendiri. Menghibur budaya yang kolot tidak pernah sepadan dengan memperoleh dorongan untuk mengembangkan diri dan memperbaiki karakter, tanpa dihantui kekhawatiran yang tak rasional apakah karakter baru kita akan menyinggung atau bergeser keluar dari citra yang diminta masyarakat.

“Fear is the main source of superstition, and one of the main sources of cruelty. To conquer fear is the beginning of wisdom.” – Bertrand Russell

“Ketakutan adalah sumber utama takhayul, dan salah satu sumber utama kekejaman. Menguasai ketakutan adalah awal dari kebijaksanaan.” – Bertrand Russell, filsuf Inggris, pakar logika, matematikawan, pakar sejarah, penulis, kritikus sosial, aktivis politik, dan peraih Nobel Prize dalam bidang Sastra.

Anggota masyarakat yang introspektif dan otonom

Ini juga merupakan salah satu alasan mengapa anggota masyarakat penyintas masalah kejiwaan sulit bersosial dengan orang lain. Sulit bagi seseorang yang senantiasa didesak menginspeksi ke dalam dirinya, “Kenapa aku merasakan ini (di saat seperti ini)? Apa yang sedang terjadi padaku? Apa yang bisa kulakukan untuk menolong diriku sendiri (dalam waktu yang menghimpit ini)? Apa lebih baik aku hancur/mati/menghilang saja?” untuk merasa cocok dengan orang yang bahkan terkadang, secara dapat dipahami, bersikap defensif jika didorong untuk berpikir dan memeriksa ke dalam dirinya sendiri.

Sikap defensif ini di antaranya dapat kita saksiksan, sedihnya, pada orangtua yang dengan mudahnya menyalahkan anak atas kondisi kejiwaannya.

Orang yang lebih ‘berhasil’ dikuasai tuntutan sosial seperti orangtua, dapat kita dapati mengusulkan bahwa masalah kejiwaan adalah akibat dari ketidakpatuhan pada orangtua/tradisi/Tuhan. Karena itu alasan yang selama ini mereka paksakan untuk menghukum diri sendiri saat mereka merasa lemah dan kesulitan.

Sebaliknya, ‘harapan’ terlalu sering diterjemahkan sebagai kesempatan bergabung kembali dengan sistem sosial, ketimbang bentuk-bentuk perbaikan diri lainnya.

Kesulitan bersosial pada penyintas masalah kejiwaan memang sering dikembangkan di awal kehidupan seseorang, dibantu oleh keterbatasan orangtua dan adat yang tak mendukung. Namun sebagian besar tantangan dalam kondisi kesehatan mereka datang dari dalam dirinya sendiri.

Kekacauan ‘pemerintahan’ mereka terjadi di dalam tubuhnya, dan berefek langsung pada perilaku luar serta kemampuan mereka dalam berkehidupan secara layak.

Menjalankan sebuah kehidupan dengan kondisi yang sulit dikendalikan, serta delusi yang membuat dunia jadi terasa lebih berbahaya dari yang sebenarnya, membuat kita sulit merespon pada banyak hal, termasuk tuntuan dan kuasa sosial.

Karena itulah ketidakcocokan antara penyintas masalah kesehatan jiwa dan orang umum nyaris tak dapat dihindari dalam kehidupan sehari-hari.

Perbedaan pengalaman hidup ini memang sulit komptibel jika mendiskusikan kondisi manusia. Tapi bukan berarti kita harus melewati setiap interaksinya dengan pertempuran yang tidak berbuah.

Mengecilkan tantangan sosial

Antara berusaha menaikkan rasa kepentingan diri di hadapan orang yang memiliki pengetahuan minim tentang kesehatan jiwa serta empati yang tipis, dan menyiksa diri dengan menghibur orang lain hanya agar dia segera berhenti menyalahpahami situasinya, akan lebih baik jika kita mengecilkan tantangan sosialnya bagi kedua pihak.

Kita adalah orang yang terkondisi untuk senantiasa bekerja bagi sistem kita sendiri. Semua obat-obatan yang kita coba, suplemen yang kita telan, filosofi, usaha-usaha untuk berdamai dengan emosi negatif dan opini yang membenci… Itu adalah semua alasan yang kita butuhkan untuk tidak menganggap serius perjumpaan dengan nyaring, pasif dan pongahnya orang-orang yang mungkin gentar untuk membuat perubahan nyata sendiri.

Semua orang sejatinya mampu menjadi penyelenggara sebuah gagasan. Namun ketika mereka tidak memperlihatkan minat itu, tidak ada alasan bagi kita untuk menghiburnya dengan cara apapun. Bukan karena mereka orang yang buruk, tapi karena hanya kita yang mampu memutuskan untuk bersikap masuk akal terhadap diri sendiri.

Hentikan suara-suara di dalam pikiran yang mencoba membela kondisi kita. Cepat atau lambat, orang yang terkuasai-sosial toh akan harus kembali pada menjaga sikapnya, karena tidak mau melampaui kreativitas yang diijinkan budaya yang dia patuhi dan menanggung identitas otentiknya sendiri.

Tapi yang terpenting adalah, dengan mendiamkan diri sendiri, kita memberi orang lain kesempatan untuk ganti menggunakan pertemanan yang lebih tulus, atau memulai membicarakan keluhan-keluhan yang lebih umum dan bertalian dengan keseharian semua orang.

Kita yakin orang lain tidak selalu sulit dipahami (dan menjengekelkan). Sadari bahwa setiap orang memiliki ‘majikan’ yang berbeda dan hidup sebagai pion bagi sistem yang berbeda-beda, seperti kita dengan masalah pribadi atau perjuangan kesehatan mental.

Setiap orang, tersosialisasi oleh apapun, pasti pernah merenungkan apakah dia bisa berbuat lebih, atau berharap menemukan kekuatan yang lebih besar di dalam diri, untuk memperoleh hak mengendalikan dan mengembangkan kehidupannya sendiri.

Untuk tumbuh sebagai orang pribadi, menggunakan segala kekurangan watak, pengetahuan, keraguan, renungan dan kadang, depresi yang melumpuhkan, tanpa takut hal-hal manusiawi ini dihakimi sebagai dosa sosial.

Gambar fitur: pixabay.com/rawpixel

Tinggalkan komentar